Apakah Khitbah Membolehkan Berduaan dengan Pinangan?

Jumat, 13 Mei 2011

Assalamu’alaikum wr.wb.
Saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis melalui keluarganya, lalu mereka menerima dan menyetujui lamaran saya. Kami mengundang kerabat, teman-teman, sanak famili dan mengumumkan lamaran itu, kami syukuran, membacakan Al-Fatihah, dan kami melantunkan nasyid. Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat dipandang sebagai perkawinan menurut syari'at yang berarti memperbolehkan saya berduaan dengan wanita tunangan saya itu, berboncengan, dan pergi bersama. Perlu diketahui bahwa dalam kondisi sekarang ini saya belum memungkinkan---karena masih mahasiswa--- untuk melaksanakan akad nikah secara resmi dan terdaftar pada kantor urusan nikah (KUA). Apakah saya harus segera melangsungkan nikah, karena saya juga takut berbuat zina?
Terimakasih atas penjelasan ustadz.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Muhsin, Kartasura.

Wa’alaikum salam wr.wb.

Adik Muhsin yang baik,
Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar menuju jenjang perkawinan.

Dalam kamus bahasa kita mendapati perbedaan antara kalimat "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin). Kebiasaan umum juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah kawin; Syari'at juga membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak dan kewajiban, dan implikasi dan akibat-akibat tertentu.

Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami:

"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya." (Q.S. Al-Baqarah: 235).

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
"Tidak boleh salah seorang di antara kamu meminang pinangan saudaranya." (Muttafaq 'alaih).
„Jauhilah olehmu berduaan dengan perempuan. Demi diriku yang ada ditangan-Nya, seorang laki-laki yang berduaan dengan seorang perempuan, pasti setan akan menjadi teman ketiganya dan seorang yang mencelupkan tangannya ke dalam darah babi yang bercampur lumpur adalah lebih baik daripada ia menyentuh tangan perempuan yangbukan mahramnya“(H.R. Thabrani).

Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sampai terselenggaranya perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh ia dan teman wanitanya bersepian (berkhalwat),  atau diajak hidup serumah (rumah tangga), kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', yang memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara' yang merupakan rukun perkawinan. Dan selain itu adalah adanya wali, mahar, dua saksi yang adil, dan calon temanten.
Nabi saw. bersabda:
“Tidak ada (tidak sah) nikah, kecuali dengan wali”(Muttafaq alaih).
“Janganlah perempuan mengawinkan perempuan yang lain, dan jangan pula perempuan mengawinkan dirinya sendiri, karena perempuan yang berzina (pelacur) ialah yang mengawinkan dirinya sendiri”(H.R. Ibnu Majah dan Imam Daruqutni).

Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.

Menurut ketetapan syara, ada akibat dan impilasi yang ditimbulkan bagi orang yang sudah menikah dan yang hanya pinangan semata. Di antaranya yang kita kenal adalah bahwa lelaki yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewajiban memberi mahar kepada isterinya separo harga.

Allah swt. berfirman:
"Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah ..." (Q.S. Al-Baqarah/2: 237)

Akan tetapi, jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah melakukan akad nikah.

Karena itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki, mengekang nafsunya dengan berpuasa dan mengendalikannya dengan takwa. Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas yang halal dan melakukan yang haram.

Rasulullah saw. bersabda :
“ Wahai para pemuda, jika kamu sudah mempunyai bekal, maka segeralah menikah. Karena dengannya pandangan matamu akan terjaga dan nafsu syahwatmu akan terkendali. Jika belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu merupakan benteng (dari hawa  nafsu)”(H.R. Bukhari Muslim).

Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka yang sudah bertunangan.
Sebab, zaman itu selalu berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan tindakan lebih tepat dan lebih utama.

"... Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Q.S.Al-Baqarah/2: 229)

"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan."
(Q.S. An-Nur/24: 52). Wallahua’alam bishawab.



0 komentar:

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes